Senin, 15 Juni 2020

Dari PMI ke Filsafat

Program studi pengembangan masyarakat islam suatu cabang ilmu yang berbicara tentang masyarakat yang berdaya dan tidak berdaya. Maka dari itu pemberdayaan adalah cara untuk mengembangkan diri dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi berdaya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Maka dari itu, kelompok-kelompok manusia yang saling terkait oleh sistem, status, serta hukum-hukum khas dan hidup bersama yang memiliki tatanan kehidupan, untuk menghasilkan suatu kebudayaan. Proses ini harus dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat agar mampu menganalisis situasi kehidupan dan masalah-masalahnya. Inilah peran filsafat, agar membentuk suatu pemikiran yang tidak dangkal dengan cara berpikir yang radikal dan menyeluruh. Suatu cara berpikir yang mengupas sedalam-dalamnya, yang dapat diamati secara empiris, karena hanya benda-benda yang empirislah yang dapat diamati.

Adapun filsafat tidak harus bersifat empiris, filsafat juga harus berisfat rasional, sehingga dikatakan bahwa pengatahuan filsafat yang rasional akan serta merta menjadi ilmu bila ia membuktikan secara empirik. Oleh karena itulah filsfata akan berusaha mencari masalah baru dalam masyarakat dengan mempertanyakan secara radikal, persoalan yang sudah ada. Maka fislafat bertugas memberikan tempat berpijak secara rasional bagi kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sepeti problem kemiskinan, masyarakat buta huruf, serta kelompok yang terpinggirkan, dengan kata lain seorang fasilitator dalam melakukan pemberdayaan harus bisa memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya lokal secara kolektif bersama masyarakat.

 Orientasi pemeberdayaan masyarakat selama ini selalu diukur dalam bentuk fisik, dan diukur dari sisi input serta kualitatif dari pada non-fisik, bahwa dengan ukuran keberhasilan dari dampak proses. Kebanyakan program pemberdayaan masyarakat berorientasi fisik dan komuditas. Pada prosesnya, ada tiga jenis untuk melakukan analisa pemberdayaan masyarakat yaitu paradigma filsafat, paradigma mistik, dan paradigma sain. Paradigma filsafat bertumpu pada rasionalisme sehingga onjek kajiannya selalu berkenaan dengan asbtrak rasional metafisika. Paradigma mistik bersifat bersifat abstrak supra-rasional, dalam dunia mistik kepercayaan atau iman dapat dapat diraih dengan metode riayadhah. Disinilah keprcayaan muncul bukan karena adanya penjelasan rasional dan kalaupun ada bukan merupakan hal yang harus melainkan adanya kehadiran hudhuri kebenaran dari Yang Maha Benar itu. Paradigma sains bertumpu pada metode ilmiah yang ditopang oleh rasionalisme dan empirisme, serta diperkuat diperkuat oleh positivisme. 

Disinilah pandangan seorang fasilitator revolusioner sejati, untuk melakukan perubahan-perubahan berdaya berdasarkan empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkah terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah, karena dengan kemajuan ilmiah yang bersifat revolusioner. Oleh karena itu hanya terasa revolusinernya bagi mereka yang terkena dampaknya, atau lebih baik pencapaian masyarakat yang ilmiah, sebagai menyediakan dasar atau fondasi bagi praktek selanjutnya. Karena dengan diterimanya paradigma seorang fasilitator akan bersikap kritis terhadap paradigma tersebut, dan untuk itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya selama menjalankan pemberdayaan masyarakat. Ketika persepsi masyarakat memandang kata berdaya melalui pancaindranya jelas mempunyai kelemahan, sebab pancaindra manusia tidak sempurna. Demikian juga, bahwa ingatan kurang bisa dipercaya sebagai cara untuk menemukan kiranya tidak usah dipersoalkan lagi. Apalagi cara kita menalar untuk sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengatahuan jelas sekali mempunyai kelemaham-kelemahan.

 Pancaindra, Rasio dan harus kita lampaui dalam memberdayakan masyarakat secara ritual, iman dan ilmiah, untuk sampai pada taraf kehidupan yang lebih baik dari hari kehari dan puncaknya manusia berdaya di atas Tuhan segala-galanya...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar