Senin, 15 Juni 2020

Aku, Islam dan Pancasila

Aku bukan pula soekarno, bukan pula syahrir, bukan pula hatta, bukan pula tan malaka, bukan pula ki hajar diwantara, bukan pula soe hok gie, bukan pula bung tomo, dan bukan pula maryono, karena aku ia aku tapi bukan aku yang menjadi aku melainkan aku yang selalu menjadi aku. Ketika aku membelah menjadi dua, siapa yang sebenarnya aku dan bukan aku, aku tak mengerti soal aku, sebab aku masih berjalan menuju aku yang akan menjadi aku di hari ini, besok dan masa depan. Bila semua sudah menjadi aku, apalagi yang akan aku pelajari dari kejadian demi kejadian, sehingga aku itu membeku dengan konsep yang aku inginkan oleh aku sendiri.

Aku, islam dan pancasila ........... aku cukup heran dengan hasil kesepakatan pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena fenomena semakin terasingnya nilai-nilai pancasila dari kehidupan sehari-hari. Selain itu juga, Pancasila sekarang juga berhadapan dengan tantangan dari ideologi lain. Ideologi yang diusung oleh islam radikal dan islam liberal, kedua pengusung tersebut berusaha secara sistematis untuk meminggirkan Pancasila dari sistem ekonomi, sosial, politik dan budaya. Karena dengan begitu semakin banyak warga masyarakat yang tidak mengetahui dan memahami terhadap Pancasila dan nilai-nilai yang dikandungnya, maka kondisi ini sesungguhnya membahayakan bagi kehidupan bangsa dan negara ini. Sehingga bangsa ini kehilangan arah dan titik orientasinya.

Realitas semacam ini, tidak bisa dibiarkan dan harus melakukan berbagai langkah dan strategi agar bangsa ini tidak semakin terpuruk. Tentu saja, untuk melakukannya dibutuhkan kekuatan yang besar. Kekuatan yang besar itu hanya akan terbentuk dengan adanya penguhan kembali ikatan bathin atau komitmen semua warga negara terhadap cita-cita nasionalnya yang disertai pembaruan tekad bersama untuk melaksanakannya. Perlu diketahui, dalam kehidupan bernegara haruslah melihat Pancasila sebagai pemersatu yang mengajak semua orang agar patuh dengan ajaran Tuhan. Maka aku, islam dan Pancasila ikut menghargai keberagaman dan pluralitas yang sudah ada di masyarakat. Melalui penghargaan inilah kehidupan yang damai dan harmunis dapat terwujud. 

Aku menyadari bahwa umat islam merupakan warga mayoritas, sehingga implikasi pada keteguhan pandangannya untuk merasa lebih terikat pada islam dan umatnya, bukan pada kelembagaan umat islam, seperti partai politik islam, atau wadah persatuan umat islam. karenanya, aku menolak terhadap institusi kepartaian politik islam, tetapi bukan berarti aku menolak ajaran-ajaran keislaman. Maka penolakanku itu terhadap pemamfaatan atas islam untuk kepentingan pragmatis. Pemamfaatan semacam itu justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran islam yang sebenarnya.

 Coba kita lihat Pancasila betapa agung dan mulianya mengambil posisi yang netral terhadap keanekaragaman dan kemajemukan di Indonesia. Karena Indonesia bukanlah negara teokratis, bukan pula negara sekuler, bukan pula negara komunis, dan bukan pula negara liberal, ia adalah negara yang berlandaskan Pancasila yang sangat akomodatif dalam memahami keragaman tersebut. Di dalam perbedaan kita disatukan oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan etis dasar yang sama, yang terumuskan dalam bahasa etika politik lima sila Pancasila. Untuk aku, umat islam pada umumnya tidak lagi mempersoalkan pancasila, sudah jelas keselarasan Pancasila dengan ajaran islam merupakan bagian dari dinamika sejarah yang unik. 

Maka dari pengembangan-pengembangan pemikiran baru Pancasila sebagai dasar negara, akan dapat memelihara makna dan relavasinya tanpa kehilangan hakikatnya, sehingga dasar negara tersebut berserta nilai-nilai dasarnya tetap berbunti dan komunikatif dengan masyarakat yang terus berkembang dan dinamika kemajuan zaman yang terus bergerak. Dengan begitu, dasar negara tersebut akan universal yang gampang beradaptasi sesuai zaman, tahun uji dan malahan semakin berkembang bersama-sama dengan realitas baru yang bermunculan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar