Selasa, 19 Mei 2020

Pendidikan Holistik ala Steiner

“Mencari hikmah dari setiap masalah, mencari masalah dari setiap keadaan, menentukan keadaan dari setiap kesadaran”

Pendidikan holistik merupakan perubahan yang baru dalam pendidikan, pelatihan serta keterampilan dan ilmu pengatahuan. Namun, sampai saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke-19 yang menekankan pada pembelajarn terkotak-kotak, pembelajarn non-sistemik dan pembelajarn dimana fisik yang utama, yang membuat siswa sulit untuk memahami relavansi arti dan nilai antara yang dipelajari di sekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya sistem pendidikan yang terpusat pada siswa yang dibangun berdasarkan asumsi komunikatif, menyeluruh dan demi kepenuhan jati diri guru dan siswanya.  

Tokoh flsuf klasik yang bernama socrates telah mendorong seseorang untuk menilai dirinya sendiri, “Siapa Aku.?? Maka dalam ranah pendidikan holistik, merupakan sutau metode pendidikan yang membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial, budaya, politik, emosi, intelektual, moral, kreatifitas, dan spiritual. Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya. seharusnya pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. Iya spiritual, intelektual, imajenatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.

Ada empat fase dalam menerapkan pendidikan holistik di antara nya : pertama, “belajar untuk bertanya pada fase ini dimulai dengan bertanya. Bertanya merupakan tindakan alami ketika seseorang ingin mengetahui sesuatu. Hal ini berarti memiliki kemampuan untuk langsung dan mengambil kepadulian untuk pembelajaran pribadi, menjadi seorang yang mengikuti perkembangan zaman, serta untuk mencari dimanapun pengatahuan berada. Kedua, “belajar untuk melakukan” pada fase ini merupakan fase dimana mengetahui bagaimana cara untuk mengembil resiko serta inisiatif personal dalam menghadapi resiko tersebut. Fase ini juga menunjukkan bahwasanya tempat pertama penerapan terhadap apa yang telah dipelajari seseorang adalah dengan berlatih, sehingga fase ini lebih ke arah pembiasaan dibandingkan dengan pemikiran. Dengan begitu perpaduan antara teknologi dan sumber belajar menjadi suplemen pendukung bagi manusia di dalam berinteraksi serta mencari penyelesaian. Ketiga, “belajar dalam kehidupan sosial” pada fase ini berarti seorang individu harus belajar untuk hidup sebagai makhluk sosial. Belajar dalam menguasai prasangka, kedogmatisan, diskriminasi, sifat otoriter dan menghakimi sesuatu, serta semua yang berhubungan langsung dengan tindakan yang menimbulkan provokasi dan konflik serta peperangan. Keempat, “belajar untuk menjadi sesuatu” fase ini merupakan suatu fase dimana seorang individu mampu menemukan jati dirinya sebagai seorang manusia. melaksnakan kodratnya sebagai seorang manusia, dan mengenali nilai-nilai yang ada pada diri sendiri, yang mana kondisi kebenaran dan emosinya mampu dikendalikan dengan baik.

Karakteristik kurikulum yang terintegrasi dengan adanya keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada aktivitas konkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata. Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relavan dan kontekstual. Hal ini mampu membuat siswa dapat berpartisipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif baik fisik, sosial, emosi, dan akademik lainnya.

 
Maryononisme

Ketika Sekolah Menjadi Penjara

“Aturan yang serba rumit, perundang-undangan yang serba meresahkan, orang-orang yang mengatur serba lancang menyuruh begini dan begitu dari sejak kita lahir”

Sekolah merupakan institusi bermartabat yang diharapkan dapat mendidik manusia menjadi pribadi-pribadi yang unggul, mulai dan berwawasan luas. Sekolah diharapkan pula dapat mengeluarkan manusia dari masa kebodohan menuju masa pencerahan yang berdampak bagi kesejahteraan dan kesadaran hidup bersama. Di sekolah para siswanya pun diharapkan dapat merasakan kenyamanan serta menemukan guru dan sahabat untuk berdiskusi bersama tentang kehidupan. Disinilah letak mulianya sekolah, yang memfasilitasi manusia menemukan kesejatiannya sebagai manusia yang merdeka. Namun, impian hanyalah tinggal impian yang tidak sesuai dengan kenyataan, sekolah tak bisa menjadi rumah kedua setelah hiruk - pikuk di luar yang sangat kejam, justru kekejaman dan kejahatan terjadi di lingkungan sekolah. Coba kita menengok kembali ke belakang, bagaimana kehidupan kita saat belajar di SD.?? Tanpa harus mengingat-ingat semua kejadian pada masa itu, keceriaan masa kanak-kanak dapat kita lihat dari foto yang terpampang dihalaman pertama rapot kita masing-masing.

Kita tentu ingat, foto yang ada di rapot selalu berukuran 3 x 4 cm atau 2 x 4 cm, hitam putih yang mungkin sudah ada yang berwarna, harus memakai dasi, wajah harus tegak menghadap ke depan, dan mayoritas foto hanya terlihat muka atau separuh badan kita saja. pengambilan foto diadakan di sekolah menjelang kelulusan atau semasa menjadi siswa. Secara teknis, kita di minta untuk berjejer empat atau lima anak, kemudian si tukang foto memotret kita. Dari sini terlihat, bahwa masa kecil kita telah dikungkung atau merampas keceriaan kita dalam berfoto. Untuk berfoto saja harus diatur sedemikian rumit, sehingga keceriaan di masa kanak-kanak sudah hilang,. Seharusnya, untuk urusan foto diserahkan kepada si anak, bebas mau berfoto gaya apa saja boleh. Dipersilahkan pergi ke studio, foto bersama orang tuanya atau dengan binatang kesayangannya. Intinya, cetaklah foto yang paling disukai dan akan di pasang di dalam rapot masing-masing siswa.

Kita semasa menjadi pelajar, menerima pelajaran dengan bobot yang sangat banya, bahkan hingga 20 an mata pelajaran. Semua jenis pelajaran diberikan ke siswanya, numpuk jadi satu. Belum lagi diberikan tugas rumah yang bertumpuk-tumpuk. Yang terjadi disini anak bukan menjadi cerdas dan pintar, melainkan bosan, stress dan ingin lari dari sekolah. Pada saat kuliah pun juga sama, kita sudah dihadapkan pada banyak pilihan kemanakah program studi yang kita pilih. Apakah program studi ini mempunyai pengaruh di masa depan, ataukah bisa mendapatkan pekerjaan yang jelas.?? Universitas pada akhirnya hanya mencetak para sarjana yang siap memburu pekerjaan, bukan sarjana yang siap menjadi pencipta lapangan pekerjaan. Institusi pendidikan kita bukan lagi mencetak para pemimpin yang mempunyai kesadaran, melainkan sekedar menjadi mesin pencetak pelayan atau budak sejati yang sesuai selera pasar.

Kita masih ingat Undang-Undang Sistem Pendidkan Nasional Tahun 2013 yang intinya mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengatahuan, keterampilan, kesehatan jesmani dan rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dang kebangsaan. Inilah cita-cita mulia pendidikan kita, tapi kita menjadi heran ketika cita-cita mulai tersebut terjadi kontras dengan sederetan kisah para pelaku kekerasan kepada siswa-siswa yang menjadi korban di dalam pendidikan. Contoh, kasus Bully di SMP Malang. Kasus siswi Disabilitas SMP Purworejo Dipukul dan Ditendang Kakak Kelas. Guru Pukuli Siswanya di Depan Ratusan Anak Didiknya di Bekasi. Guru SD Pukuli Siswanya di Mantraman Jakarta Timur dan masih banyak kasus lain yang masih tersembunyi.

Maryononisme 

Senin, 11 Mei 2020

Memahami Kemiskinan Berskala Desa

Suatu pagi saya merenung di depan rumah mengamati warga-warga di desaku yang status sosial pekerjaannya berbeda-beda. Namun, berselang beberapa menit kemudian tanpa aku sadari, bahwa kemiskinan seringkali kita pandang sebagai sebuah kondisi, dan bukanya konsekuensi. Artinya, kita selalu berpandangan mengenai kemiskinan sebagai problem sosial yang disamakan dengan keadaan orang si miskin, sehingga cara pandang kita terlalu fokus pada keadaan dimana mereka yang bersifat generik. Mislanya, keadaan tempat tinggal, jenis dan jumlah asupan gizi, tingkat pendapatan dan kepemilikan aset.

Cara pandang inilah kemiskinan non-relasional itu biasanya memang menjadi pengangan baku, karena para perencena kebijakan dan aparat penyelengara pembangunan yang berskala desa khususunya, tidak lagi memperhatikan kapasitas, kualitas dan keunikan yang ada di desa. Maka cara pandang inilah yang sering berguna untuk membuat potret orang-orang miskin pada suatu penggal waktu tertentu. Namun, kita akan merasa gagap untuk memahami kemiskinan yang sudah di potret itu sebenarnya merupakan endepan dari suatu proses-proses historis yang dinamis. Potret semacam itu, pasti gagal menangkap bahwa kondisi kemiskinan yang beskala desa, rumah tangga, dan komunitas yang sebenarnya memiliki perjalanan sejarah dan dinamika yang berbeda-beda dalam hal proses pembentukan durabilitas dan bahkan juga reproduksinya.

Untuk lebih memahami secara prosodural dengan proses pembentukan-pembentukan dan mekanisme sosial yang membuat ketimpangan dan kemiskinan itu terus bertahan dan berlanjut, bahkan diciptakan kembali. Maka yang sebenarnya ditangkap hanyalah hilir dan muara, yang titik permasalahannya tentang kemiskinan adalah hulu yang menimbulkan kondisi kemiskinan itu dan aliran-aliran yang menjadi mekanisme produksi dan reproduksinya masyarakat desa. Secara praktis, konstruksi kemiskinan semacam di atas hanya akan mengantarkan pada kebijakan ujung pipa, dalam program-program pengentasan kemiskinan. Kebijakan ini tidak akan mampu menghentikan reproduksi dan pelipatgandaan kemiskinan oleh kebijkan pembangunan yang berlangsung saat ini. Sebagai ilustrasi, suatu keluarga yang mendapatkan bantuan pemerintah, misalnya Bantuan Langsung Tunai BLT, Program Keluarga Harapan PKH, yang hari-hari ini menjadi perbincangan hangat oleh aparat desa. Kalau semisal keluarga sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti yang saya jelaskan di atas, apakah keluarga tersebut tidak akan turun kejenjang yang semula? Karena kebijakan tersebut tidak serta merta menjadi jaminan seumur hidup, dengan kata lain ganti pemimpin secara otomatis ganti program. Ide saya selalu berkovergensi untuk menemukan suatu jawaban tentang kesejahteraan masyarakat mulai dari akses pendapatan per kapita, partisipasi pendidikan, dan akses layanan kesehatan yang benar-benar berkelanjutan demi kesejahteraan ketia bersama.

Aku yakin tidak ada  desa yang miskin, tapi aku sangat yakin akan ada pemerintah yang goblok membangikan bantuan terhadap aparat elit desa yang tidak menyemaratakan/memperdulikan terlebih dahulu kepada orang-orang yang memang hidupnnya terlantar setiap harinya. 

Maryononisme

Tradisi Berdesa

Aku orang desa, Aku lahir di desa, Aku pemuda desa.

Tradisi kerapkali dianggap kebiasaan, pola hidup, atau budaya lokal. Namun, sejak kehadiran UU Desa No. 06 Tahun 2014 mendapatkan respon yang positif dari masyarakat kalangan bawah, termasuk saya sebagai orang desa. Mengapa saya sangat bangga menjadi orang desa.? karena banyak pelajaran yang yang saya ambil dari pengalaman saya di desa, salah satu yang menjadi gagasan penting dalam tradisi berdesa, merupakan pemikiran baru, ide yang baru, dan arah yang baru. sebab selama ini kita banyak mengenal konsep bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi tidak pernah mengenal konsep teradisi berdesa.

Tradisi berdesa bukan sekadar mengandung tradisi bernegara secara korporatis tunduk pada kebijakan dan regulasi negara atau bermasyarakat secara parokhial hidup bersama atau tolong menolong berdasarkan garis kekerabatan, agama, etnis atau yang lain. Tradisi berdesa mengandung unsur bermasyarakat dan bernegara di ranah desa. Desa menjadi wadah kolektif dalam bernegara dan bermasyarakat. Pertama, desa menjadi basis sosial atau menjadi basis memupuk modal sosial, yakni memupuk tradisi solidaritas, kerjasama, swadaya, gotong royong secara inklusif yang melampaui batas-batas eksklusif seperti kekerabatan, suku, agama, aliran atau sejenisnya. Kedua, desa memiliki kekuasaan dan berpemerintahan, yang di dalamnya mengandung otoritas kewenangan dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Ketika mandat dari rakyat secara koherensif dengan otoritas dan akuntabilitas, maka legitimasi dan kepercayaan akan menguat. Desa mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada warga masyarakat.

Dengan demikian, masyarakat yang mempunyai mimpi besar dengan bermodal sosial network, maka kerbersamaan, kerjasama, solidaritas, dan kepercayaan akan terjalin dengan rapi dan melimpah ruah berskala desa. Tetapi, di balik sosial network dan solidaritas sosial yang menyenangkan itu, masyarakat desa sering menghadapi berbagai kerentanan sosial yang menyedihkan, bahkan bisa melumpuhkan ketahanan sosial mereka. Ketahanan sosial masyarakat desa kerapkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari regulasi dan kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam, kekeringan, dan masih banyak lagi. Bahkan bantuan dari pemerintah seperti BLT, Gratis Token Listrik, dan kompensasi BBM juga memunculkan kerawanan sosial dalam masyarakat, misalnya dalam bentuk pertikaian antara warga dan aparat setempat.

Setelah mengupayakan banyak hal mulai dari cara ber-tradisi di desa, bekerjasama, membangun solidaritas, saling percaya antar warga desa, maka masyarakat akan mengerti jati dirinya, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bisa bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri dibidang ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Terutama masyarakat pedesaan tidak cukup hanya dengan upaya meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama atau modal saja, tetapi harus diikuti pula dengan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Karena dasar kehidupan sosial masyarakat desa di tentukan oleh ekonomi yang saling mempengaruhi basic struktur dan supra struktur yang ada di desa setempat. 

Maryononisme