“Mencari hikmah dari setiap
masalah, mencari masalah dari setiap keadaan, menentukan keadaan dari setiap
kesadaran”
Pendidikan holistik merupakan
perubahan yang baru dalam pendidikan, pelatihan serta keterampilan dan ilmu
pengatahuan. Namun, sampai saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan
pandangan abad ke-19 yang menekankan pada pembelajarn terkotak-kotak, pembelajarn
non-sistemik dan pembelajarn dimana fisik yang utama, yang membuat siswa sulit
untuk memahami relavansi arti dan nilai antara yang dipelajari di sekolah
dengan kehidupannya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya sistem pendidikan
yang terpusat pada siswa yang dibangun berdasarkan asumsi komunikatif,
menyeluruh dan demi kepenuhan jati diri guru dan siswanya.
Tokoh flsuf klasik yang bernama
socrates telah mendorong seseorang untuk menilai dirinya sendiri, “Siapa Aku.??
Maka dalam ranah pendidikan holistik, merupakan sutau metode pendidikan yang
membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua
potensi manusia yang mencakup potensi sosial, budaya, politik, emosi,
intelektual, moral, kreatifitas, dan spiritual. Manusia yang mampu
mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia
pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah
sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif
kepada lingkungan hidupnya. seharusnya pendidikan bertujuan mencapai
pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan
jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu
pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. Iya
spiritual, intelektual, imajenatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara
individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak
dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Ada empat fase dalam menerapkan
pendidikan holistik di antara nya : pertama,
“belajar untuk bertanya” pada fase ini dimulai dengan bertanya. Bertanya
merupakan tindakan alami ketika seseorang ingin mengetahui sesuatu. Hal ini
berarti memiliki kemampuan untuk langsung dan mengambil kepadulian untuk
pembelajaran pribadi, menjadi seorang yang mengikuti perkembangan zaman, serta
untuk mencari dimanapun pengatahuan berada. Kedua, “belajar untuk melakukan” pada fase
ini merupakan fase dimana mengetahui bagaimana cara untuk mengembil resiko
serta inisiatif personal dalam menghadapi resiko tersebut. Fase ini juga
menunjukkan bahwasanya tempat pertama penerapan terhadap apa yang telah
dipelajari seseorang adalah dengan berlatih, sehingga fase ini lebih ke arah
pembiasaan dibandingkan dengan pemikiran. Dengan begitu perpaduan antara
teknologi dan sumber belajar menjadi suplemen pendukung bagi manusia di dalam
berinteraksi serta mencari penyelesaian. Ketiga, “belajar dalam kehidupan sosial” pada
fase ini berarti seorang individu harus belajar untuk hidup sebagai makhluk
sosial. Belajar dalam menguasai prasangka, kedogmatisan, diskriminasi, sifat
otoriter dan menghakimi sesuatu, serta semua yang berhubungan langsung dengan
tindakan yang menimbulkan provokasi dan konflik serta peperangan. Keempat, “belajar untuk
menjadi sesuatu” fase ini merupakan suatu fase dimana
seorang individu mampu menemukan jati dirinya sebagai seorang manusia.
melaksnakan kodratnya sebagai seorang manusia, dan mengenali nilai-nilai yang
ada pada diri sendiri, yang mana kondisi kebenaran dan emosinya mampu
dikendalikan dengan baik.
Karakteristik
kurikulum yang terintegrasi dengan adanya keterkaitan antar mata pelajaran
dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada aktivitas konkret atau
nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain
memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan,
juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih
lanjut mengenai materi yang dipelajarinya. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk belajar melihat keterkaitan antar mata pelajaran dalam hubungan yang
berarti dan kontekstual bagi kehidupan nyata. Selain itu dengan kurikulum
terintegrasi, proses belajar menjadi relavan dan kontekstual. Hal ini mampu
membuat siswa dapat berpartisipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia
terlibat aktif baik fisik, sosial, emosi, dan akademik lainnya.
Maryononisme