Kehidupan seseorang tidak ada yang
tahu kemana arah hidupnya ditentukan oleh sang maha kuasa, akan tetapi dalam
kehidupan umat manusia sering kali terjadi simpang siur antara cara berpikir
dengan fenomena dan takdir Tuhan. Oleh sebab itu, kehidupan manusia tergantung
cara berpikirnya karena di dalam kepala kita semua terisi otak yang mamfaatnya
untuk berpikir. Maka manusia harus mencoba berpikir secara menyeluruh,
mendalam, radikal dan rasional tentang sesuatu. Bila kehidupan manusia
menafikan nilai-nilai moral dan agama, bahkan sampai menganggap nilai-nilai
tersebut sebagai realitas yang kosong dan tanpa makna, sehingga agama dianggap
persoalan pribadi dan masalah alam lain, dan tentunya nilai-nilai agama yang
dilandasi oleh keyakinan kepada Tuhan sebagai simpul dari keimanan yang dianggap tidak lebih tinggi dari nilai-nilai kemewahan fisik material semata.
Lalu kehidupan manusia menjadi
sesuatu yang sakral bagi dirinya sendiri yang berdasarkan pengalaman baik di
masyarakat, sekolah sampai universitas bahwasanya orang yang sukses adalah yang
sejahtera secara finansial bukannya orang yang sukses bergandengan tangan
dengan Tuhan.? Maka tidak dapat dipungkiri lulusan sekolah dan lulusan sarjana
mempunyai cara berpikir bahwa hal utama yang menjadi tujuan hidup manusia di
dunia adalah dengan kerja... kerja... kerja... kayak macam presiden saja.
kemudian ustad, guru, dosen mempunyai cara berpikir yang sama yaitu materialis
yang dimana menentukan kualitas sekolah/universitasnya sejauh mana lulusanya
cepat terserap dalam dunia kerja dan apa pekerjaan mereka. Hal fenomena seperti
itu coba kita pandang secara kritis yang berkemajuan, sesungguhnya tidak ada
yang salah dari aspirasi finansial. Namun, masalah akan timbul ketika aspirasi
tersebut dijadikan yang terpenting sehingga mengabaikan hal-hal lain yang lebih
urgent seperti keimanan kita pada Tuhan. Dari sudut pandang pendidikan karakter
generasi muda perlu diberikan kebebasan menentukan jalan hidupnya dan meyakini
fokus etis, sebagai seperti mengambangkan akal sehat, menjadi anggota
komunitas, membantu sesama, menemukan makna hidup, dan membangun identitas etis
serta integritas, sebagai tujuan hidup berpikir dan berprinsip.
Uang dan harta benda memiliki
nilai yang luar biasa bahkan agama itu sangat tidak penting, yang penting kerja
dan bisa kaya, bukannya Tuhan membagikan rejeki sama umat manusia.? bukan
pekerjaan, karena manusia hari ini terlalu men-Tuhan-kan Materi yang berupa
uang sebagai obat kebahagiaan dirinya. Dengan uang berbagai kebutuhan dapat
dipenuhi, cinta dapat dibeli, sex dapat dibeli tanpa harus menikah, agama dapat
digadaikan demi kepuasan materi. Orang yang berpunya selalu menempati tempat
yang istimewa di masyarakat dan negara, dan setiap orang selalu ingin memobilisasi dirinya naik kestatus sosial yang lebih tinggi. Orang-orang yang
miskin dan tak berpunya akan selalu minder dan gerogi sebab selalu
termarginalkan oleh orang-orang yang mendapatkan tempat istimewa. Inilah dua gambaran yang
akan selalu bertentangan sampai akhir kiamat.
Nahhh.... konseptualisasi cara
berpikir tentang kehidupan materialis sebagai aspirasi finansial yang
dilatarbelakangi oleh keperihatian serta kecenderungan manusia yang memiliki
pola pikir kapitalis, yang memandang kesuksesan dan kebahagiaan tergantung
kepada kemampuan memcapai kekayaan finansial. Dari sudut pandang berpikir yang
humanistik, bahwa manusia yang sehat seharusnya terdorong hidup dengan motivasi
dan aktualisasi diri berdasarkan keimanan dan kemanusiaan. Kemudian pola pikir
manusia tentang kehidupan menjadi dua aspek mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orientasi lingkungan, orientasi keluarga,
dan teman-temanya sampai pada faktor budaya. Ciri-ciri orang yang materialistis
adalah orang yang menggadaikan imannya, walaupun secara penglihatan tidak
mengakuinya bahwa dia materialistis, akan tetapi secara psikologis dia
meng-ia-kan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar