Selasa, 07 Juli 2020

Dari Desa ke Senayan

Kalau kita lihat wajah demokrasi bangsa ini se akan-akan kusut, cemberut, dan semacam bangunan tua yang tidak terawat oleh para pemimpin bangsa kita, sehingga desa-desa saat ini menjadi pusat perhatian yang sangat serius oleh kalangan elit politik, intelektual dan para ilmuan. Karena desa menjadi solusi alternatif terawatnya demokrasi yang harmunis dan sejahtera, semenjak lahirnya lembaga BPD sebagai parlemen desa sekaligus diharapkan merupakan wahana bagi rakyat untuk terlibat dalam penyelenggaraan urusan publik dan proses pengambilan kebijakan-kebijakan berskala desa. Namun dengan demikian dalam kenyataanya gagasan ini belum sepenuhnya berjalan, karena terdapat sejumlah potensi konflik yang berkepanjangan akan membuat pembangunan di desa jadi terbengkalai.

Oleh sebab itu konstelasi politik di pedesaan, dengan adanya BPD sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif sering dipandang sebagai gangguan atas kemapanan yang ada. Secara kuntural kepala desa boleh jadi belum siap akan adanya lembaga BPD, karena sekian lama semasa 32 tahun Orde Baru berkuasa tidak pernah ada pengawasan terhadap kepala desa. Maka dengan kelahiran lembaga BPD tersebut, struktur di desa tidak lagi menempatkan kepala desa sebagai kekuasaan sentral tanpa adanya pengontrol. Hal inilah yang sekaligus mengisyaratkan bahwa BPD akan efektif memainkan fungsinya bila di dukung oleh kekuatan-kekuatan riil di masyarakat. Tanpa itu, bukan tidak mungkin BPD akan menjadi lembaga baru tanpa makna atau justru menjadi beban baru bagi rakyat, karena dukungan rakyat ini akan terwujud bila segenap unsur yang ada di masyarakat memahami mengenai sebuah kebutuhan akan demokratisasi yang bersekala desa.

Kemungkinan desa dan senayan sebagai saudara se ayah cuma beda ibu yang malahirkan, karena kepala desa, BPD dan elit tradisional merupakan satu kesatuan sebagai dinamika politik desa. Sedangkan kepala desa dan BPD adalah dua institusi pemerintahan desa yang diberi otoritas fornal untuk menjalankan tugas dan fungsi yang berbeda, tetapi tetap besinergi dengan berbagai elemen masyarakat dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan desa. Maka dari itu, elit tradisional adalah orang besar atau bangsawan yang menempati posisi teratas dan memiliki pengaruh signifikan dalam proses pengambilan keputusan desa. Dalam rentang sejarah kehidupan masyarakat selalu dijumpai adanya perbedaan perspektif kemampuan di antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, akan tetapi dimana sebagian masyarakat di senayan yang memiliki konsep demokratisasi modern, serta partai-partai politik yang sudah demikian berkembang di senayan tak lagi dapat melepaskan dari dirinya.

 Senayan sebagai cerminan tumbuhnya oligarki yang di tandai dengan konsepnya tentang “pikiran masyarakat” yang mayoritas manusia yang ada di senayan apatis, males dan berjiwa budak serta tidak mampu memerintah diri sendiri, mereka terbiasa dalam ketidaktepatan dan spserti budak dengan adanya paksaann dan dari sinilah tumbuh kembangnya elit oligarki dari desa ke senayan. Dan tak kalah penting, paradigma lama dalam memenangkan pertarungan kekuasaan politik terutama pemilu orda baru, reformasi, pasca reformasi yang masih memakai pola represif yang sudah ketinggalam zaman. Demikan halnya dengan seorang konsultan politik, jasa dan keahlian yang diberikan tidak hanya khusus kepada kampanye tapi juga mencakup aspek strategis dan taktis politik. Maka dalam konteks dari desa ke senayan dan partai-partai politik yang ada harus bisa mengkomunikasikan dalam bentuk interpersonal agar semua fungsi dalam sistem politik menjadi bagian dari konsepsi yang menyatakan bahwa gejala sosial, komunikasi dan termasuk gejala politik adalah saling berhubungan dan saling mempengaruhi baik dari desa ke senayan maupun dari senayan ke desa. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar